Sumber gambar : http://gambarilus.blogspot.com |
Seorang pria
tengah bertelanjang dada sambil menghisap sebuah rokok disebuah tembok pinggir
sungai. Tatapannya kosong namun bibirnya tetap bekerja menghisap rokok.
Sesekali dia memainkan kakinya, mengayunkan ke depan ke belakang sebab dia
duduk di tembok dengan tinggi sekitar 60 senti dipinggir sungai.
Lalu, tak
sengaja tangan kirinya mengenai batu yang digunakan untuk menahan alat pancing
agar tidak jatuh. Namun, alat pancing yang tadinya aman saja kini terjatuh ke
sungai. Beruntung saja, aliran sungai ini tidak deras namun tetap membuat alat
pancingnya bergerak.
“Gusti!” kata
pria tersebut.
Alhasil, pria
tersebut harus menceburkan kakinya ke sungai di dalam kota yang airnya sulit
didefinisikan dalam segi warna. Bau yang menyengat membuat orang-orang malas
untuk mendekati sungai, namun berbeda dengan pria tersebut.
Dari popok bayi,
sandal bekas, kotoran orang-orang mengambang jelas menjadi pemandangan
menjijikan setiap harinya. Pria tersebut awalnya tampak risih dengan apa yang dilihatnya,
tapi melepaskan alat pancing satu-satunya jelas bukan pekerjaan yang mudah.
Pria bernama
Komarudin itu sangat gemar memancing. Sayangnya, dia tidak pernah mendapatkan
ikan dari hasil memancingnya. Beberapa orang sudah mengingatkan bahwa disungai
tersebut tidak pernah ada ikan, namun Komarudin tetap memancing dari pagi
sampai sore setiap harinya.
Pria dengan
tubuh kurus tinggi tersebut menarik nafas dalam-dalam. Dia merasakan kakinya
menginjak sesuatu yang lunak. Dalam hatinya dia berharap yang diinjaknya adalah
tanah, naas ternyata itu adalah kotoran yang dia keluarkan satu jam yang lalu
sebelum dia memutuskan memancing di sungai ini.
“Gusti!” kata
pria tersebut.
“Masya Allah, ngapain
Din?” tanya Mbok Yum, seorang penjual jamu.
“Alat pancingku
jatuh, Mbok Yum,” teriak Komarudin.
Mbok Yum hanya
menggelengkan kepalanya. Dia tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan
Komarudin. Setiap hari, Komarudin menghabiskan waktu untuk memancing di sungai
yang kotor yang jelas-jelas tidak ada ikannya, jika Komarudin dapat ikan pun
pasti akan menjijikan untuk memakannya.
Akhirnya
Komarudin berhasil mengambil alat pancingnya dalam keadaan kaki menginjak
kotorannya sendiri. Dia mencuci kakinya dengan air sungai yang kotor tersebut
lalu kembali keatas dimana tadi dia menghabiskan waktunya untuk melamun. Tak
sampai lima menit, Komarudin memutuskan untuk segera pulang ke rumahnya tanpa
membawa satu pun ikan.
Jarak dari
sungai ke rumahnya memang tidak begitu jauh. Tapi, kebiasaan Komarudin harus
melewati pasar kecamatan terlebih dahulu agar lewat rumah pak Rohim, tetua di
desa tersebut. Tujuannya agar dia mendapatkan jatah rokok dari pak Rohim yang
merupakan sahabat bapaknya dulu.
“Dapat ikan kamu
hari ini?” tanya pak Rohim.
Komarudin
menggelengkan kepala.
“Nih,” kata Pak
Rohim sambi memberikan satu bungkus rokok kepada Komarudin. Tanpa mengucapkan
terimakasih, Komarudin segera pergi dari rumah pak Rohim menuju rumahnya. Tak
sampai 30 menit, Komarudin sudah sampai dirumahnya dengan keadaan masih
memegang alat pancingnya. Lalu, ia duduk dikursi meja makan.
“Bu, bu, aku
lapar,” kata Komarudin.
Keluarlah
seorang perempuan tua dengan gamis warna hijau yang sudah usang dari sebuah
kamar. Perempuan tersebut memperbaiki sanggulan rambutnya. Seraya menarik nafas
dalam-dalam matanya terlihat nanar melihat Komarudin yang duduk dimeja makan.
“Aku lapar,”
kata Komarudin.
“Ada lagi
pekerjaanmu selain melamun dipinggir sungai sambil memancing ikan memakan
umpanmu?” tanya Bu Yati.
“Ikan-ikan zaman
sekarang tidak mau makan umpan yang gratisan, Bu. Maunya umpan yang mahal,
gengsian” jawab Komarudin.
“Memangnya hari
ini kamu beri umpan apa?” tanya Bu Yati.
“Rumput,” jawab
Komarudin.
“Mana ada ikan
yang hidup disungai yang kotor seperti itu, Nak,” kata Bu Yati.
“Tempo hari aku
lihat Pak Gubernur menanam banyak ikan lele, Bu,”
“Ya mungkin ikan
lelenya mati. Simpan dulu alat pancingnya,” kata bu Yati.
“Apa pak
Gubernur bohong ya, Bu?” tanya Komarudin. Tidak ada jawaban dari bu Yati. Bu
Yati yang sudah renta tersebut melangkahkan kakinya menuju dapur. Dia
menggoreng telur dan ikan tongkol yang dibelinya tadi pagi di pasar. Setelah
selesai, Bu Yati menghidangkan masakannya dimeja makan.
“Ini,” kata Bu
Yati.
Komarudin dengan
lahapnya menghabiskan telur dadar yang dimasak ibunya. Dengan keadaan yang
belum menggunakan baju, Komarudin tiba-tiba berteriak memanggil kembali sang
Ibu.
“Bu …” teriak
Komarudin.
“Apa, Nak? Ibu
mau cuci baju dulu,” kata Bu Yati.
Komarudin
jongkok diatas kursi. Tatapannya melihat kearah nasi dimeja makan. Lalu, tangannya
memukul meja dengan sangat keras sampai tempat nasi pun jatuh ke lantai. Bu
Yati mengusap wajahnya seraya beristigfar sementara Komarudin malah tertawa
dengan sangat keras.
Niat awal
mencuci baju harus ditunda karena ia harus membereskan nasi yang jatuh ke
lantai. Tak lama kemudian, bu Yati sudah selesai membereskan nasi yang
berceceran. Dia melihat kearah kamar Komarudin yang pintunya terbuka. Sambil
membawa periuk nasi, bu Yati melangkahkan kakinya menuju kamar Komarudin.
Dilihatnya sang anak yang sudah tertidur lelap dengan alat pancing yang sudah
terjatuh ke sungai itu disampingnya.
“Coba kamu dulu
tidak jadi caleg, Nak. Kamu pasti masih waras dan aku tidak harus menderita
mengurusmu diusia senjaku,” kata Bu Yati sambil meneteskan air mata.
No comments